Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam
di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, diatas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak….
Malu aku jadi orang Indonesia.
Itulah penggalan puisi yang ditulis oleh Penyair Taufiq Ismail pada tahun 1998, yang menggambarkan betapa muramnya wajah negeri kita tercinta, Gambaran tersebut menujukkan bahwa karaketer bangsa sudah tergilas oleh roda yang bernama globalisasi dimana globalisasi merupakan faktor utama yang telah mengguncang hampir segala sendi kehidupan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.
Mendiknas, Bapak Mohammad Nuh, mengistilahkan hal tersebut sebagai fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat. Namun anomali yang sifatnya ironis paradoksial tersebut, justru menjadi fenomena keseharian, fenomena tersebut menjadi sesuatu hal yang lucu dan mengherankan. Mohammad Nuh memberikan contoh penegak hukum yang mestinya menegakkan hukum, ternyata harus dihukum, para pendidik yang seharusnya mendidik malah dididik, pejabat yang semestinya melayani masyarakat, malah minta dilayani. “Itu semua merupakan sebagian dari fenomena sirkus yang bersumber pada karakter,” Tandasnya. Dan beliau menegaskan pendidikan karakter bangsa sangat mendesak untuk segera diterapkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari upaya untuk membangun karakter bangsa.
Pengertian pendidikan karakter
Mendiknas, Bapak Mohammad Nuh, mengistilahkan hal tersebut sebagai fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat. Namun anomali yang sifatnya ironis paradoksial tersebut, justru menjadi fenomena keseharian, fenomena tersebut menjadi sesuatu hal yang lucu dan mengherankan. Mohammad Nuh memberikan contoh penegak hukum yang mestinya menegakkan hukum, ternyata harus dihukum, para pendidik yang seharusnya mendidik malah dididik, pejabat yang semestinya melayani masyarakat, malah minta dilayani. “Itu semua merupakan sebagian dari fenomena sirkus yang bersumber pada karakter,” Tandasnya. Dan beliau menegaskan pendidikan karakter bangsa sangat mendesak untuk segera diterapkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari upaya untuk membangun karakter bangsa.
Pengertian pendidikan karakter
Arti kata dari karakter itu sendiri bisa bermakna akhlak, budi pekerti, sifat, perilaku, watak dan tabiat. Karakter seseorang disengaja atau tidak, bisa didapat dari orang lain di dekatnya atau yang sering berinteraksi dan berkomunikasi serta dapat mempengaruhinya sehingga ia mulai meniru ucapan maupun tingkah laku orang tersebut. Sebagai contoh seorang anak cenderung untuk meniru perilaku orang tuanya. Menurut Ron Kurtus seorang pendiri Situs Pendidikan ”School of Campions”, berpendapat bahwa karakter adalah satu set tingkah laku atau perilaku (behaviour) dari seseorang sehingga dari perilakunya tersebut, orang akan mengenalnya ”ia seperti apa”. Menurutnya karakter akan menentukan kemampuan seseorang untuk mencapai cita-citanya dengan efektif, kemampuan untuk berlaku jujur dan berterus terang kepada orang lain serta kemampuan untuk taat terhadap tata tertib dan anturan yang ada. Karakter terbentuk dari proses meniru yaitu melalui proses melihat, mendengar dan mengikuti, maka karakter sesungguhnya dapat diajarkan secara sengaja. Jadi pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengajarkan kepada seseorang untuk berkahlak yang mulia, bertingkah laku jujur dan bertanggung jawab serta berbudi pekerti yang mulia.
Contoh kongkrit pendidikan karakter yang belum diterapkan di sekolah adalah seperti apa yang dialami oleh Ary Ginanjar Agustian, penulis buku best seller tentang ESQ, bahwa pendidikan agama yang semestinya dapat diandalkan dan bisa memberi solusi bagi permasalahan hidup saat ini, ternyata lebih dipahami sebagai ajaran ”fiqih”. Tidak dipahami dan dimaknai secara mendalam, lebih pada pendekatan ritual dan simbol-simbol serta pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan ketika dia duduk di bangku Sekolah Dasar, Rukun Iman dan Rukun Islam diajarkan dengan cara yang sangat sederhana, hanyala sebentuk hafalan, tanpa dipahami maknanya. Padahal justru di sinilah letak rahasia pembentukan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) sebenarnya. Jujur harus kita akui apa yang dialami oleh Ary Ginanjar dulu, juga masih dialami oleh kebanyakan anak-anak Indonesia sekarang, ketika belajar di Sekolah. Baik itu di pendidikan dasar maupun menengah.
2. Peran pemerintah, guru dan orang tua dalam membangun karakter pesera didik.
Agar pendidikan karakter dapat segera diterapkan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka menurut penulis dibutuhkan 3 peran yang saling terintegrasi, yaitu :
a. Peran Pemerintah.
Sudah saatnya pemerintah mencari ”formula baru” yang tepat dalam menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik secara benar dan berkelanjutan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang kelak akan menghasilkan lulusan yang berkualitas secara akademik dan berkualitas akhlaknya, sehingga menjadi manusia yang bermartabat yang mampu bersaing di dunia dan mampu menghadapi segala tantangan jaman. Pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan nasional jika sudah menyiapkan ”formula barunya” dan sudah digodok dengan matang, maka tinggal menyosialisasikan kepada sekolah-sekolah. Jangan sampai, meminjam istilah Eep Syaifullah Fatah, menyajikan hidangan yang belum matang kepada publik atau sebaliknya menyajikan hidangan yang sudah gosong karena terlalu lama diolah didapur.
b. Peran Guru
Peran Guru sebagai ujung tombak terdepan dalam membentuk karakter peserta didik juga sangat menentukan sekali, disinilah peran guru benar-benar diuji tugas pokok dan fungsinya sebagai pendidik, guru sudah tidak (boleh) lagi leha-leha (santai) atau bahkan setengah hati dalam proses membentuk karakter peserta didik. Jika itu terjadi maka kebobrokan moral, korupsi, dan kesewenangan penguasa masih dan akan terus terjadi di negeri ini. Langit akhlak rubuh, diatas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Pepatah jawa mengatakan guru adalah digugu lan ditiru, tindak tanduknya harus sesuai dengan apa yang diucapkan, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur, sehingga peserta didik akan lebih mudah meniru atau meneladani apa yang dilakukan oleh gurunya. Jadi disini sosok dan peran guru menentukan terbentuknya karakter peserta didik.
c. Peran Orang Tua
Pembentukan karakter di sekolah akan lebih mudah dibangun, jika hal itu dilakukan juga di rumah, peran orang tua sangat penting dalam membentuk karakter anak, karena dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik demikian sebaliknya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Orang tua saat ini terkadang hanya beranggapan bahwa kewajibannya hanyalah mencari uang untuk membiayai pendidikan anaknya. Sedangkan kebutuhan nuraninya (moralnya) orang tua cenderung menyerahkan kepada sekolah ataupun guru mengajinya (guru spiritualnya). Padahal waktu yang terbanyak seorang anak adalah di lingkungan rumah. Akan lebih sulit membangun akhlak/karakter anak apabila kondisi keluarga anak tersebut kering nuraninya dan diperparah lagi dari keluarga broken home. Maka bisa dipastikan akan menjadi anak yang ”bermasalah” baik di lingkungan keluarga, di sekolah dan di masyarakat.
3. Membentuk karakter yang terbaik adalah dengan cara memberi tauladan
Tentu kita masih ingat tentang semboyan Ki Hajar Dewantara yang terkenal itu, yaitu Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun kasra, Tutwuri handayani. Maka jalan yang terbaik dalam membentuk karakter anak didik, kita sebagai guru harus berada di depan untuk memberi teladan yang baik kepada anak didik kita. Selain itu, mari kita simak dan hayati lagi bait puisinya Taufiq Ismail :
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam
di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Sebaik apapun kurikulum tentang pendidikan akhlak, sesempurna apapun sistem pendidikan yang dibuat, bahkan kitab suci yang ada di negeri ini, tidak ada artinya sama sekali, sampai ia dipadukan dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari apa yang terkandung di dalamnya. Yang terpenting adalah tindakan nyata dan kontinyu dalam menghayati dan mengamalkan apa yang terkandung dalam buku/kitab itu. Dan menurut Thomas Edison : Jenius adalah 1% inspirasi dan 99% nya adalah kerja keras, memang benar dibutuhkan kerja keras dan kesabaran agar bisa mengamalkan apa yang telah kita pelajari dan kita dapatkan. Ini merupakan esensi dari pendidikan karakter itu sendiri.
Sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah baik di pendidikan dasar dan menengah di negeri ini yang telah dan sedang melaksanakan pendidikan karakter terhadap anak didiknya. Termasuk di sekolah tempat penulis mengajar. Hanya mungkin perlu dibenahi, ditingkatkan dan dilanjutkan lagi apa yang telah ada. Di sekolah dimana tempat penulis mengajar/mendidik (SMP Negeri 1 Ngoro Jombang) juga telah melaksanakan program pendidikan karakter terhadap anak didiknya, bersama-sama dengan pendidik lainnya. Walaupun mengalami pergantian kepemimpinan (kepala sekolah) pendidikan karakter masih terus dilakukan secara kontinyu di sekolah tersebut. Bahkan tidak hanya pada saat tatap muka saja tetapi diluar itu para guru terus memantau tingkah laku maupun tabiat anak didik di lingkungan sekolah. Program pendidikan karakter yang diajarkan itu adalah :
1. Kebiasaan anak didik cium tangan kepada Gurunya.
· Setiap pagi sebelum masuk jam pelajaran, anak didik dibiasakan untuk berbaris rapi diluar kelas sambil cium tangan gurunya yang masuk pada kelas itu. Dan setiap kali bertemu dengan gurunya, anak didik di lingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah juga selalu cium tangan gurunya. Kebiasaan itu dilakukan kontinyu hingga sekarang. Hal ini memberikan keteladanan bahwa anak didik menjadi patuh, taat dan hormat kepada guru, dimanapun guru berada dan Insya Allah di rumah pun peserta didik akan melakukan hal yang sama terhadap kedua orang tuanya. Namun realitasnya tidak semua anak didik melakukan kebiasaan baik itu, terutama bagi anak didik yang mempunyai tabiat yang kurang baik, bahkan cenderung menghindar.
2. Kebiasaan menanamkan sikap jujur, disiplin, tanggungjawab dan percaya pada diri sendiri.
· Ini dilakukan tidak saja pada saat guru memberikan materi pelajaran tetapi juga saat istirahat atau saat tidak terjadi tatap muka, misal : ketika ada ulangan harian, anak didik dilatih untuk tidak menyontek, ataupun bertanya pada temannya.
3. Melatih untuk selalu menjaga kebersihan sekolah baik didalam kelas maupun diluar kelas.
· Dengan cara ini anak didik dilatih untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan di lingkungan sekolah dan membuang sampah pada tempatnya.
4. Melatih untuk shalat dhuhur berjamaah untuk anak didik yang beragama islam.
· Ini dimaksudkan untuk melatih anak didik agat semakin meningkat kadar keimanan dan keteqwaan kepada Alloh SWT, Namun karena keterbatasan luas area tempat ibadah maka kegiatan sholat berjamaah tidak bisa dilakukan secara bersamaan.
5. Mendidik untuk selalu beramal dan bersedekah melalui kaleng infaq
· Kegiatan ini dilakukan seminggu sekali, dimana hasilnya akan digunakan untuk memberi sumbangan kepada anak didik yang membutuhkan juga digunakan untuk kegiatan sosial ataupun acara keagamaan.
6. Membaca Al-Qur’an setiap hari sabtu, sebelum pelaksanan kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk anak didik yang beragama islam dan kegiatan membaca Al-Kitab untuk yang beragama Kristen.
· Kegiatan ini bertujuan agar guru dan anak didik tidak melupakan kitab sucinya dan merangsang untuk membaca, dengan harapan dapat memaknai dan melaksanakan apa yang dibacanya.
Enam program pendidikan karakter diatas telah dan sedang dilaksanakan oleh anak didik kami dengan istiqomah dan terus menerus sehingga menjadikan kebiasaan rutin dan dapat diterapkan berkelanjutan sepanjang hayat. Tentunya kebiasaan dan pendidikan karakter ini tentu belum optimal dan masih perlu dibenahi lagi dan perlu ditambah lagi. Namun kami punya keyakinan bahwa visi dan misi di sekolah yang kami emban, yaitu mencetak lulusan yang beriman, berprestasi dan berkarya sudah tercapai, walaupun masih perlu ditingkatkan dan dioptimalkan lagi.
Kedepan, kami yakin di negeri ini akan lahir generasi-generasi cerdas yang beriman, berkarakter dan bermartabat, generasi yang berbudi pekerti mulia dalam kehidupan sehari-harinya dan berakhlak mulia serta mencintai rakyat dan negerinya sehingga cita-cita bangsa Indonesia yaitu terbentuknya masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945 segera terwujud. Dan kita pun (akan) bangga jadi orang Indonesia. Amiin.
Oleh :
Haris Sakti Handono, S. Pd
(Guru SMP Negeri 1 Ngoro Jombang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar